SILENT HILL (2006) |
Feminist Artwork of The Month
Jumat, 11 Februari 2011
Feminist-compatibility dan Imej 'Sacred Mother' dalam film Silent Hill (2006)
Banyak jenis film horor yang membuat saya kurang bersimpati pada plot ceritanya yang secara eksplisit dapat tertangkap oleh saya, maupun pesan-pesan moral (?) yang secara implisit bisa saja dimuat dalam sebuah film bergenre horor. Sebagai orang yang antipati terhadap hal-hal berbau teror mental, saya memang bukan peminat film horor hardcore. Walaupun terkadang rasa ingin tahu saya yang tinggi dapat men-drag saya pada keadaan dimana saya terbiasa tidak takut terhadap apapun (hehehe, tidak dapat dihindarkan bahwa manusia menjadi sombong pada saat-saat tertentu). Namun ada beberapa film horor yang saya kagumi, dimana saya sering sengaja menontonnya berkali-kali. Tentu saja, jika saya mengagumi sebuah film, maka pastilah film itu adalah film yang berhasil menarik hati saya untuk menjadikannya sebagai bahan refleksi.
Film bergenre horor yang juga tidak kalah banyak unsur violence and gore-nya, tetapi merupakan salah satu film yang saya kagumi adalah SILENT HILL (2006). Film berdurasi 125 menit yang disutradarai oleh Christopher Gans dan ditulis script-nya oleh Roger Avary ini sempat mengambil hati saya pada November 2006. Karena selain saya telah lama memainkan game-nya mulai dari tahun 2004 Silent Hill I, II dan III di PSone dan PS2, sampai Silent Hill: Shattered Memories (2009) dan PSP sekarang. Sebelumnya saya memang memanfaatkan game-game survival horror yang hardcore hanya sebagai tempat pelampiasan luapan emosi sementara, karena Silent Hill The Games mencakub tokoh female-protagonist maupun female-antagonist, bahkan imej demonic-female incarnation yang menjadikan game ini juga seru seperti game-game survival horror favorit saya yang lain. Tetapi setelah film pertama Silent Hill rilis di tahun 2006, saya menjadi lebih penasaran dengan jalan cerita sesungguhnya dari sejarah Silent Hill. Ternyata setelah menyaksikan sendiri filmnya, jalan cerita sesungguhnya tentang Silent Hill dalam film-nya jauh diluar spekulasi saya yang terpaku dari game-game yang telah tamat dimainkan. Bahkan lebih bagus dari apa yang saya bayangkan. Terdapat nilai-nilai moral tertentu yang sangat familiar bagi saya dari keseluruhan plot maupun ceritanya. Nilai-nilai feminisme.
Film Silent Hill ini menceritakan tentang seorang perempuan bernama Rose Da Silva (Radha Mitchell) yang memiliki anak perempuan bernama Sharon (Jodelle Ferland) yang diadopsinya bersama pasangannya (Sean Bean) dari sebuah panti asuhan Katolik tertua di Amerika. Sharon masih bayi pada saat keluarga Da Silva mengadopsinya dari panti asuhan tersebut. Sharon sebenarnya adalah anak perempuan yang manis dan kreatif, serta hidup bahagia bersama pasangan Da Silva sebagai kedua orang tuanya. Namun Sharon sering berjalan waktu tidur dan mengiggau tentang Silent Hill yang secara tidak sadar disebutnya sebagai "rumah"-nya. Telah diketahui oleh keluarga Da Silva bahwa Silent Hill merupakan sebuah kota kecil tempat pertambangan batu bara di West Virginia. Dengan tujuan membantu terapi psikologis anak perempuannya, Rose nekad membawa anak perempuannya itu ke Silent Hill yang merupakan kota yang telah diisolir oleh pemerintah, tanpa sepengetahuan pasangannya. Dalam perjalanan menuju Silent Hill, mereka bertemu seorang polisi wanita yang melarang keras mereka masuk ke wilayah tersebut. Polisi wanita tersebut mengingatkan bahwa kota tersebut telah ditutup dan jika orang yang tidak terdaftar dalam data penduduk Silent Hill masuk ke wilayah itu, maka ia telah melakukan pelanggaran hukum. Pertanyaan di benak Rose menjadi semakin besar saat terjadi keanehan dimana Sharon tiba-tiba menghilang dari mobil yang mereka kendarai pada saat Rose nekad menabrak gerbang untuk memasuki kawasan Silent Hill akibat dibuntuti oleh polisi wanita tersebut. Rose kemudian mencari anak perempuannya itu ke seluruh wilayah Silent Hill dengan berjalan kaki dan menelusuri tempat-tempat mengerikan di Silent Hill. Apa yang terjadi di Silent Hill kemudian mulai diungkap secara perlahan oleh Rose dimana ia dibantu oleh polisi wanita tadi, yang kemudian bertemu dengannya di Silent Hill dan diketahui bernama Cybill Benett (Laurie Holden). Cybill ternyata adalah perempuan baik, tangguh dan berhati hangat yang ditugaskan atasannya untuk mencari keberadaan orang-orang yang hilang di Silent Hill. Rose dan Cybill menjadi berteman baik saat mereka bersama melewati semua pengalaman dunia spiritual menyeramkan yang terjadi di kawasan Silent Hill. Sementara itu di Brahms, kota di seberang Silent Hill, suami Rose (Sean Bean) berusaha mencari istri dan anaknya dan kemudian dibingungkan oleh foto seorang anak perempuan misterius dari panti asuhan Katolik di Silent Hill bernama Alessa (diperankan juga oleh Jodelle Ferland), yang persis seperti anak perempuannya. Kemudian Rose dan Cybill juga bertemu dengan Dahlia Gillespie (Deborah Kara Unger), seorang perempuan berpenampilan seperti penyihir namun mereka merasa ia memancarkan aura ketulusan seorang ibu yang menyayangi anak perempuannya. Dahlia mengaku ia juga mencari keberadaan anak perempuan yang amat disayanginya. Namun sayangnya pada setengah jalan untuk mengungkap misteri Silent Hill, Cybill yang berupaya menyelamatkan Rose, terbunuh oleh para penduduk Silent Hill yang menuduh mereka berdua penyihir. Cybill dibakar hidup-hidup seperti orang-orang lain yang dituduh sebagai penyihir oleh penduduk Silent Hill. Rahasia tentang misteri tragedi gelap mengerikan Silent Hill akhirnya berhasil diungkap Rose sendiri ternyata merupakan akibat dari kuatnya dendam seorang anak perempuan yang selama hidupnya di siksa oleh orang-orang religius fanatik di kota itu yang mengaku diri mereka suci dan penganut agama Kristen yang baik. Rose mengetahui bahwa Silent Hill ternyata dulunya adalah kota tempat para orang-orang religius fanatik bermukim. Anak perempuan itu dituding sebagai penyihir oleh gereja dan seluruh penduduk di Silent Hill karena ia memiliki kemampuan psikokinesis alamiah. Selama masa kecilnya, anak ini sering dicemooh dan dihina serta dijuluki sebagai anak iblis yang terkutuk karena ia lahir dari seorang suster yang hamil diluar ikatan pernikahan tanpa ada yang mau bertanggung jawab sebagai ayahnya. Ibunya yang dulu adalah mantan seorang suster dengan kepahitan hati, tidak sanggup membantu anaknya keluar dari penderitaan tersebut. Anak ini juga kerap mengalami pelecehan seksual berkali-kali oleh petugas kebersihan asramanya, karena setiap ia menangis sakit hati maka tolilet adalah tempatnya bersembunyi. Anak perempuan yang dendam tersebut tidak lain adalah Alessa, anak perempuan yang persis seperti Sharon. Ia dibakar hidup-hidup atas ide dari Suster Christabella (Alice Krige), seorang biarawati pimpinan aliran religius fanatik yang tidak lain adalah adik dari Dahlia, ibu Alessa. Alessa memiliki dendam yang teramat dalam dan gelap sehingga ia dapat membuat reaper (malaikat maut) untuk membalaskan seluruh dendam-dendamnya pada gereja dan penduduk di Silent Hill yang telah menghancurkan kehidupannya. Sehingga pada akhirnya, setelah Rose berhasil mengetahui kebenaran yang terselubung dibalik rahasia kegelapan Silent Hill, ia menemukan anaknya dan berhasil menyelamatkannya.
Saya menangkap pesan-pesan dari film ini ini, dimana banyak sekali karakter perempuan dalam film ini. Dimulai dari Rose, si tokoh utama yang awalnya terlihat naif namun dapat mengatasi segala rasa takutnya karena cintanya pada anaknya, Cybill yang tegas namun memiliki hati yang hangat dan rela berkorban demi solidaritas antar perempuan dan cintanya pada kehidupan, Sharon sebagai anak perempuan labil yang belum menemukan jati diri, Dahlia yang tertekan secara mental dan spiritual selama masa mudanya namun mendapatkan banyak pencerahan di masa tuanya melalui pengalamannya, dan Christabella yang merupakan perempuan yang memiliki harapan besar menjadi satu-satunya objek paripurna yang eksklusif dari subjek paripurna dan kemudian terbuai dalam ilusi eksklusifitas monolithisme dan monotheisme, sehingga ia dengan mudah mengkhianati dan menganggap enteng solidaritas sesama perempuan maupun sesama manusia. Kemunculan malaikat maut yang berwujud anak perempuan kecil, teriakan Cybill sebelum menghembuskan nafas terakhirnya: "May Mama always with me..." dan kata-kata dalam yang sering diucapkan para tokoh utama, "Mothers is always like God for their Chilren..." semakin membuat pesan-pesan moral dalam film ini yang benar-benar terlihat jelas sebagai feminist-compatibility values.
Film ini merupakan salah satu film yang membuat saya berefleksi sangat dalam. Selain film The Exorcism of Emily Rose, saya belum pernah menemukan film seperti film Silent Hill ini yang benar-benar menggugah pemikiran saya dalam filsafat feminisme. Walaupun sebenarnya sampai hari ini saya belum yakin benar tujuan utama penulis script dan sutradaranya, apakah mereka telah dapat memprediksi bahwa para feminis akan bereaksi dengan film ini. Ataupun mereka berdua juga para pria yang pro terhadap filsafat perempuan dan theologi feminis, belum dapat dipastikan. Saya kemudian mulai bertanya-tanya dalam hati saya seperti: 'apakah arti menjadi seorang ibu sejati?', 'apakah saya cukup woman enough untuk menjadi seorang ibu?', 'apakah saya telah cukup mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri saya sendiri, atau bahkan lebih dari mengasihi diri saya sendiri?', dan 'apakah dogma-dogma agama merupakan rival dari cinta ibu yang tanpa syarat, namun cukup kuat untuk membuat manusia menjadi terpengaruh di dalamnya untuk menindas manusia lain?'. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ada di benak saya pada tahun 2006 lalu setelah selesai menyaksikan film ini. Syukurlah akhirnya pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab melalui meditasi dan kontemplasi spiritual dan pencarian saya terhadap makna hidup dan makna falsafah perempuan bagi saya.
Diposting oleh Feministacolyte di 16.07 0 komentar
Label: Feminist Film Analysis
Selasa, 25 Januari 2011
Satu lagi Komik Feminis yang Menghebohkan!
Ada satu lagi komik feminis yang heboh di Amerika. Komik ini masih tergolong komik feminis baru dan memang komik ini masih kalah populer jika dibandingkan komik feminis legendaris seperti "It Ain't Me, Babe!" yang booming saat maraknya 2nd Wave Feminism di AS pada tahun 1970-an, tetapi komik ini cukup terkenal dan termasuk dapat menyediakan (tentu saja) kritik berbentuk humor dalam merepresentasikan isu-isu feminisme dan gender yang berupa politik pencitraan perempuan terkait kuatnya pengaruh dan perkembangan budaya pop di Amerika Serikat dari 1970-an sampai saat ini. Kreator komik berjudul "The Big Feminist, BUT" ini terdiri dari tiga orang feminis dari Kanada dan Amerika, yaitu Shannon O'Leary, Joan Reilly dan Suzanne Kleid. Editornya adalah Shannon O'Leary sendiri. Adapun wawancara dengan O'Leary tentang komik ini dapat dilihat di: http://bitchmagazine.org/post/six-questions-on-comics-for-the-big-feminist-but
Dapat pula dilihat review-nya di: http://sparkplugcomicbooks.blogspot.com/2009_09_01_archive.html
Komik ini sepertinya tidak beredar bebas di internet dan tidak juga saya temukan di situs-situs seperti http://www.avaxhome.ws dan http://www.library.nu untuk di download bebas (sayangnya...hiks).
Ini sedikit sneak peek dari komik "The Big Feminist, BUT" ini yang saya dapatkan dari situs lain:
Sekali lagi, LONG LIVE FEMINIST COMICS!
Dapat pula dilihat review-nya di: http://sparkplugcomicbooks.blogspot.com/2009_09_01_archive.html
Komik ini sepertinya tidak beredar bebas di internet dan tidak juga saya temukan di situs-situs seperti http://www.avaxhome.ws dan http://www.library.nu untuk di download bebas (sayangnya...hiks).
Ini sedikit sneak peek dari komik "The Big Feminist, BUT" ini yang saya dapatkan dari situs lain:
Sekali lagi, LONG LIVE FEMINIST COMICS!
Diposting oleh Feministacolyte di 12.40 0 komentar
Label: Feminist Comics
Simple but Brilliant Cartoon about Women's Writers...
Ini sengaja ku unduh dari blog seorang kawan feminist Amerika di http://beyondfeminism.wordpress.com/2008/05/09/feminist-writers
Kelihatannya lucu dan sepele, tapi sebenarnya memperlihatkan keadaan yang sebenarnya. Di dunia jurnalistik ataupun sastra, sangat menyenangkan bagiku jika melihat perkembangan penulis-penulis perempuan di dunia. Aku selalu memperhatikan cara berpikir mereka dan bagaimana kreatifitas mereka dalam menghasilkan karya-karya mereka
Oke, coba tebak siapa diantara dua 'origin' perempuan ini yang lebih sering mempublikasikan karyanya? Hahahahahaha :D
Diposting oleh Feministacolyte di 05.50 0 komentar
Dua Komik Feminis Paling Mantap! (selain Emily Strange tentunya...)
Komik feminis berjudul "It Ain't Me, Babe" ini dibuat sekitar tahun 1970-an oleh Terry Murray, seorang aktivis gelombang kedua feminisme dan pencinta komik-komik Marvel di Amerika Serikat. Komik ini kemudian di edit ulang oleh Trina Robbins dari Duke University. Komik ini kemudian di jadikan sebagai salah satu bagian dari pameran seni feminis yang di laksanakan di Duke University pada 22 Oktober 2007-31 Mei 2008yang berjudul
"Stretching the Canvas: Women Exploring the Arts and The Feminist Art Movement, 1970s-1980s".
Tentang acara ini dapat dilihat di:
http://library.duke.edu/exhibits/modelnormuse/galleries/feminist-art-movement/slides/It-Aint-Me.html
Sayangnya saya tidak mendapatkan soft copy dari komik ini beredar dengan bebas di internet.
Tapi saya temukan ada sedikit sneak peek isi komik ini:
Komik yg satu ini juga oke, tetapi bukan dibuat oleh para aktivis feminis, melainkan dibuat sendiri oleh tim Marvel Comics Inc. Marvel Comics Inc membuat komik Superman edisi ini pada tahun 1975-an, yang dibuat karena terinspirasi dari pergerakan kaum perempuan pada tahun 1970-1980an.
Lihat saja covernya:
LONG LIVE FEMINIST COMICS!
"Stretching the Canvas: Women Exploring the Arts and The Feminist Art Movement, 1970s-1980s".
Tentang acara ini dapat dilihat di:
http://library.duke.edu/exhibits/modelnormuse/galleries/feminist-art-movement/slides/It-Aint-Me.html
Sayangnya saya tidak mendapatkan soft copy dari komik ini beredar dengan bebas di internet.
Tapi saya temukan ada sedikit sneak peek isi komik ini:
Komik yg satu ini juga oke, tetapi bukan dibuat oleh para aktivis feminis, melainkan dibuat sendiri oleh tim Marvel Comics Inc. Marvel Comics Inc membuat komik Superman edisi ini pada tahun 1975-an, yang dibuat karena terinspirasi dari pergerakan kaum perempuan pada tahun 1970-1980an.
Lihat saja covernya:
LONG LIVE FEMINIST COMICS!
Diposting oleh Feministacolyte di 05.17 0 komentar
Label: Feminist Comics
Essay Refleksi terhadap Pandangan Simone de Beauvoir: ‘The Second Sex' (Sekolah Kritik Ideologi Angkatan X; Pertemuan I)
Eksistensialisme dan Esensialisme Beauvoir serta Pertanyaan tentang ‘Sisterhood’ dalam Pluralitas Perempuan di Dunia
Oleh: Jenny Illona
Pencitraan perempuan di dalam budaya patriarkal telah di identifikasi oleh para feminis sebagai bentuk dari sebuah kekerasan yang bersifat epistemis, karena sistem pengetahuan merupakan salah satu bentuk dari sendi kunci kehidupan manusia yang telah dikonstruksi oleh laki-laki. Budaya patriarkal ini ditemukan hampir di setiap kawasan di dunia. Jumlahnya sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah kebudayaan yang bersifat bilineal dan matriarkal. Saya berargumen bahwa di kawasan Asia yang kaya akan diversitas kultural, kebudayaan yang matriarkal dan dan bilineal dapat lebih mudah ditemukan jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, terutama Eropa. Namun patut disayangkan kebudaayan seperti ini merupakan kebudayaan yang biasanya adalah kebudayaan subaltern.
Pemikir-pemikir feminis dari Eropa juga memiliki pandangan yang berbeda dengan para feminisme Asia dalam menteorisasikan tentang penyebab opresi pada perempuan dan bagaimana mengatasinya. Seperti Beauvoir, yang berasal dari Perancis dan bukan dari negara Dunia Ketiga atau etnis yang dimarjinakan dalam negaranya. Baik sudut pandang, maupun peristiwa yang terjadi dalam lingkungan riset teoris feminis mempengaruhi caranya menyusun asumsi dan menghasilkan teori.
Setelah membaca “The Second Sex”-nya Beauvoir, saya kemudian mencoba untuk merefleksikan tentang masalah ketidaksetaraan gender dan apa yang dikatakan kaum feminis tentang etik ‘sisterhood’ antar perempuan dalam negara-negara, ras, etnis dan kebudayaan dalam tataran global. Saya melihat bahwa persoalan eksistensialisme perempuan dalam hal ketidaksetaraan gender merupakan hal yang dapat dimaknai secara luas dan beragam. Karena dalam kenyataannya perempuan dari berbagai bangsa di dunia tidak diciptakan dan dikonstruksi secara sama satu dengan lainnya. Walaupun opresi terhadap peremuan adalah isu global. Dalam karya Beauvoir, saya masih melihat belum adanya kesadaran terhadap ‘diri’ (dalam hal ini maksud saya adalah ketika perempuan memandang dirinya) sebagai sesuatu yang terpecah dan beragam. Maksudnya adalah Beauvoir tidak komperhensif dalam filsafat eksistensialismenya tentang etik feminis dimana sebagian besar terkait dengan "perasaan senasib" terhadap perempuan di negara-negara lain. Contohnya yang paling terdekat, apakah Beauvoir ikut memikirkan tentang perempuan di Aljazair, dimana terdapat penderitaan para perempuan yang "khas" negara Dunia Ketiga akibat kolonialisme yang dilakukan negaranya yaitu Perancis? Saya rasa Beauvoir tidak memikirkan sampai sejauh itu. Dari pemikiran Beauvoir, saya menangkap adanya “esensialisme perempuan”, yaitu pandangan Beauvoir bahwa perempuan itu eksistensinya adalah sebagai bentuk platonik, yang seolah-olah oleh setiap perempuan, dengan darah dan daging, dapat sesuai dengan kategori tersebut. Karena itu problem esensialisme tersebut membuat Beauvoir dan filsafat eksistensialis-nya tersebut dapat dianggap telah gagal dalam menjelaskan opresi terhadap perempuan dalam tataran filosofis. Karena dalam kenyataannya, perempuan dikonstruksi dan diopresi dengan berbeda.
Dari semua pemikir feminis yang telah mengkritisi tulisan-tulisan feminisme eksistensialis Beauvoir yang telah saya banding-bandingkan, saya setuju dengan pemikiran Jean Bethke Elshtain yang mengkritisi pemikiran Beauvoir dalam tiga alasan: Pertama, The Second Sex tidak dapat diakses oleh jumlah mayoritas perempuan di dunia ini. Elshtain mengkritisi bahwa ide-ide Beauvoir seperti “imanensi”, “transendensi”, “esensi” dan “eksistensi” merupakan ide yang tidak muncul langsung dari pengalaman hidup perempuan, tetapi hanya abstraksi yang muncul dari spekulasi seorang filosof ketika duduk di kursi goyang. Pilihan kata Beauvoir itu akan menjadikan para perempuan yang tidak mendapat pendidikan formal tinggi untuk dengan ‘mentah-mentah’ menyetujui pemikirannya daripada meyakinkan mereka bahwa perempuan memang “warga kelas dua”. Kedua, pemikiran Beauvoir dianggap pesimistis tehadap tubuhnya, bukannya malah merayakan kekuatan perempuan dan femininitas sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi patriarki yang merendahkan femininitas. Pendapat-pendapat Beauvoir ini dinilai sebagai bentuk keterjebakannya dalam nilai-nilai patriarki yang tidak disadarinya. Ketiga, saran Beauvoir bagi pencapaian kebebasan dengan meminta perempuan untuk menghilangkan identitas ‘keperempuanannya’ dengan menolak melahirkan anak dan menolak sisterhood adalah tidak bertanggung jawab dan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang harus dipertaruhkan perempuan.
Dari semua pemikir feminis yang telah mengkritisi tulisan-tulisan feminisme eksistensialis Beauvoir yang telah saya banding-bandingkan, saya setuju dengan pemikiran Jean Bethke Elshtain yang mengkritisi pemikiran Beauvoir dalam tiga alasan: Pertama, The Second Sex tidak dapat diakses oleh jumlah mayoritas perempuan di dunia ini. Elshtain mengkritisi bahwa ide-ide Beauvoir seperti “imanensi”, “transendensi”, “esensi” dan “eksistensi” merupakan ide yang tidak muncul langsung dari pengalaman hidup perempuan, tetapi hanya abstraksi yang muncul dari spekulasi seorang filosof ketika duduk di kursi goyang. Pilihan kata Beauvoir itu akan menjadikan para perempuan yang tidak mendapat pendidikan formal tinggi untuk dengan ‘mentah-mentah’ menyetujui pemikirannya daripada meyakinkan mereka bahwa perempuan memang “warga kelas dua”. Kedua, pemikiran Beauvoir dianggap pesimistis tehadap tubuhnya, bukannya malah merayakan kekuatan perempuan dan femininitas sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi patriarki yang merendahkan femininitas. Pendapat-pendapat Beauvoir ini dinilai sebagai bentuk keterjebakannya dalam nilai-nilai patriarki yang tidak disadarinya. Ketiga, saran Beauvoir bagi pencapaian kebebasan dengan meminta perempuan untuk menghilangkan identitas ‘keperempuanannya’ dengan menolak melahirkan anak dan menolak sisterhood adalah tidak bertanggung jawab dan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang harus dipertaruhkan perempuan.
Dari sini saya dapat memahami betapa pandangan-pandangan para feminis Barat yang berjaya pada abad-19 dan 20 memang harus mengalami dekonstruksi dan refleksi terus menerus dalam menuju cita-cita kesetaraan gender dan pembebasan perempuan.
Terima kasih, SOPHIA The HOLY MOTHER of GOD atas enlightment yang Engkau beri!
Diposting oleh Feministacolyte di 03.55 0 komentar
Senin, 24 Januari 2011
Welcome! Blog yang sudah lama tidak dipakai ini kembali hidup lagi...
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZ3Mvh-N3LZnw_ifnmNoWEt9LVMeMaNFnupgYw8_rNzofPlIfDSyxJazTRARpi7VMqgiNVMQw5S_qX4q_xY0DxvIAH0FUEztzDuOK_E6AGW6jmJ_A7fCgbUl_ScMTf8eX95fAPkK9Xfp6N/s320/pregnantblue2.jpg)
Aku percaya bahwa Tuhan itu seperti seorang ibu. Tentu saja hatinya seperti ineh-ku (dari bahasa Dayak Ma'anyan, panggilan untuk ibu) yang tercinta di Kalimantan. Tuhan bagiku adalah pribadi terbesar yang tidak pernah menuntut dan selalu menyayangi. Memberi makan semua makhluk di bumi dengan air susu-Nya yang sempurna. Melindungi rantai kehidupan dengan tangan-tangan lembut-Nya.
Begitulah sifat-sifat Tuhan yang kupercayai, jadi aku percaya pada sesuatu yang metafisik dan cinta yang diluar akal sehat manusia. Karena cinta Tuhan itu tulus seperti cinta ibu kepada anak-anaknya. Aku percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang baik, dan sesuatu yang baik itu berasal dari Tuhan.
Kepercayaanku itu juga telah berimplikasi terhadap pendapatku tentang sistem penghidupan manusia di bumi pertiwi. Aku mempercayai bahwa perempuan dengan kemampuan reproduksi, atau melahirkan, selama beribu-ribu tahun sebelum terbentuknya patriarki, telah berhasil menguasai dan mengendalikan peradaban (terlihat kan, bahwa aku tidak mempercayai saga Genesis dalam Bible).
Karena seperti yang kita ketahui bahwa kehidupan prasejarah manusia adalah kehidupan berkelompok, masyarakat komunis primitif (Karl Marx), bukan kehidupan yang individualistis.
Apa yang di 'agung-agungkan' oleh Marxisme dan Komunisme sebagai komunitas pada dasarnya (refleksikanlah!) dibangun dengan mengandalkan kemampuan reproduktif perempuan. Sehingga jika ada seorang anak yang lahir, maka ia bisa diakui dan dipelihara oleh beberapa orang “bapak” sekaligus. Nah, menurut apa yang kuketahui dan kupercayai, begitulah sistem kehidupan manusia pada masa awal-awal bumi terbentuk.
Perempuan dalam kehidupan komunal menjadi jantung kehidupan dan pusat nilai masyarakat. Berasal dari rahim perempuanlah anggapan tentang baik dan buruk terlahir dan menumbuh kembangkan landasan etik Matriarki. Dimana sosok ibu adalah pusat dari segala macam bentuk kehidupan. Jadi, tata hidup kelompok bertahan dengan nilai-nilai perempuan. Tak pernah ada konsep pemilikan individu dalam masa-masa ini. Bahasa kelompok sepenuhnya menginternalisasi bahasa perempuan, bahasa ibu, karena seluruh sistem komunal ditopang oleh tingkat survivalitas spesies yang tinggi.
Dengan kata lain, keberhasilan sebuah kelompok mempertahankan hidup sepenuhnya tergantung pada situasi hidup perempuan. Jika kondisi perempuan terganggu, maka pastilah seluruh sendi-sendi kehidupan komunal pun akan runtuh.
Namun seiring berjalannya waktu dan semakin tuanya bumi ini, peradaban individualistis terus berkembang, budaya berburu dan meramu mulai ditinggalkan, manusia beralih ke budaya agraria: bercocok tanam, dan muncul apa yang kita kenal dengan privatisasi. Nampaknya, awal peradaban pertanian menjadi akhir dari kehidupan komunal. Masyarakat mulai mengenali konsep-konsep kerja berbasis pemilikan pribadi dan sistem akumulasi modal primitif. Konsep pemilikan semakin terlembaga ketika masyarakat kuno mulai melakukan perluasan lahan garap yang kemudian menjadi sumber gagasan tentang peperangan, penaklukan, dan penjajahan. Inilah yang dinamakan fase pembentukkan patriarki sebagai budaya. Jadi, patriarki sendiri bagiku adalah kebudayaan yang berasal dari sisi negatif manusia yaitu nafsu, keserakahan dan agresifitas.
Fiuhhh.. Lega rasanya telah menyampaikan isi pemikiranku pada kalian yang membaca.
Karena berfilsafat dan perasaan ingin tahu itu tidak boleh dikekang. Bisa berbahaya bagi manusia. Karena mengekang hal tersebut sama seperti menyumbat hidung kita pada saat bernafas. Jadi, sama saja dengan membunuh kita secara perlahan.
Yakinlah, bahwa dalam proses belajar dalam hidup ini, kita tidak hanya harus memiliki kecerdasan kognitif saja. Tetapi ada kecerdasan-kecerdasan lain yang dibutuhkan, termasuk kecerdasan dalam merefleksikan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini tanpa keberpihakan yang subjektif.
Itulah yang disebut HIKMAT. Hikmat ini lebih tinggi daripada pengetahuan. Karena pengetahuan dapat menjadi sangat destruktif jika ada ditangan orang tidak berhikmat.
Hikmat dapat ditemukan dimana-mana, tergantung kepekaan manusia. Ia dapat mencul dari hal-hal yang sangat sederhana sampai pada hal-hal paling rumit dan sulit dijelaskan.
Jadi, selamat berpertualang dalam menemukan hikmat!
Diposting oleh Feministacolyte di 11.32 0 komentar
Label: my feminist philosophy
Langganan:
Postingan (Atom)