BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Feminist Artwork of The Month

Feminist Artwork of The Month

Jumat, 11 Februari 2011

Feminist-compatibility dan Imej 'Sacred Mother' dalam film Silent Hill (2006)

SILENT HILL (2006)

Banyak jenis film horor yang membuat saya kurang bersimpati pada plot ceritanya yang secara eksplisit dapat tertangkap oleh saya, maupun pesan-pesan moral (?) yang secara implisit bisa saja dimuat dalam sebuah film bergenre horor. Sebagai orang yang  antipati terhadap hal-hal berbau teror mental, saya memang bukan peminat film horor hardcore. Walaupun terkadang rasa ingin tahu  saya yang tinggi dapat  men-drag saya pada keadaan dimana saya terbiasa tidak takut terhadap apapun (hehehe, tidak dapat dihindarkan bahwa manusia menjadi sombong pada saat-saat tertentu). Namun ada beberapa film horor yang saya kagumi, dimana saya sering sengaja menontonnya berkali-kali. Tentu saja, jika saya mengagumi sebuah film, maka pastilah film itu adalah film yang berhasil menarik hati saya untuk menjadikannya sebagai bahan refleksi. 
Film bergenre horor yang juga tidak kalah banyak unsur violence and gore-nya, tetapi merupakan salah satu film yang saya kagumi adalah SILENT HILL (2006). Film berdurasi 125 menit yang disutradarai oleh Christopher Gans dan ditulis script-nya oleh Roger Avary ini sempat mengambil hati saya pada November 2006. Karena selain saya telah lama memainkan game-nya mulai dari tahun 2004 Silent Hill I, II dan III di PSone dan PS2, sampai Silent Hill: Shattered Memories (2009) dan PSP sekarang. Sebelumnya saya memang memanfaatkan game-game survival horror yang hardcore hanya sebagai tempat pelampiasan luapan emosi sementara, karena Silent Hill The Games mencakub tokoh female-protagonist maupun female-antagonist, bahkan imej demonic-female incarnation yang menjadikan game ini juga seru seperti game-game survival horror favorit saya yang lain. Tetapi setelah film pertama Silent Hill rilis di tahun 2006, saya menjadi lebih penasaran dengan jalan cerita sesungguhnya dari sejarah Silent Hill. Ternyata  setelah menyaksikan sendiri filmnya, jalan cerita sesungguhnya tentang Silent Hill dalam film-nya jauh diluar spekulasi saya yang terpaku dari game-game yang telah tamat dimainkan. Bahkan lebih bagus dari apa yang saya bayangkan. Terdapat nilai-nilai moral tertentu yang sangat familiar bagi  saya dari keseluruhan plot maupun ceritanya. Nilai-nilai feminisme. 
          Film Silent Hill ini menceritakan tentang seorang perempuan bernama Rose Da Silva (Radha Mitchell)  yang memiliki anak perempuan bernama Sharon (Jodelle Ferland) yang diadopsinya bersama pasangannya (Sean Bean) dari sebuah panti asuhan Katolik tertua di Amerika. Sharon masih bayi pada saat keluarga Da Silva mengadopsinya dari panti asuhan tersebut. Sharon sebenarnya adalah anak perempuan yang manis dan kreatif, serta hidup bahagia bersama pasangan Da Silva sebagai kedua orang tuanya. Namun  Sharon sering berjalan waktu tidur dan mengiggau tentang Silent Hill yang secara tidak sadar disebutnya sebagai "rumah"-nya. Telah diketahui oleh keluarga Da Silva bahwa Silent Hill merupakan sebuah kota kecil tempat pertambangan batu bara di West Virginia. Dengan tujuan membantu terapi psikologis anak perempuannya, Rose nekad membawa anak perempuannya itu ke Silent Hill yang merupakan kota yang telah diisolir oleh pemerintah, tanpa sepengetahuan pasangannya. Dalam perjalanan menuju Silent Hill, mereka  bertemu seorang polisi wanita  yang melarang keras mereka masuk ke wilayah tersebut. Polisi wanita tersebut mengingatkan bahwa kota tersebut telah ditutup dan jika orang yang tidak terdaftar dalam data penduduk Silent Hill  masuk ke wilayah itu, maka  ia telah melakukan pelanggaran hukum. Pertanyaan di benak Rose menjadi semakin besar saat terjadi  keanehan dimana Sharon tiba-tiba menghilang dari mobil yang mereka kendarai pada saat Rose nekad menabrak gerbang untuk memasuki kawasan Silent Hill akibat dibuntuti oleh polisi wanita tersebut. Rose kemudian mencari anak perempuannya itu ke seluruh wilayah Silent Hill dengan berjalan kaki dan menelusuri tempat-tempat mengerikan di Silent Hill. Apa yang terjadi di Silent Hill kemudian mulai diungkap secara perlahan oleh Rose dimana ia dibantu oleh polisi wanita tadi, yang kemudian bertemu dengannya di Silent Hill dan diketahui bernama Cybill Benett (Laurie Holden). Cybill ternyata adalah perempuan baik, tangguh dan berhati hangat yang ditugaskan atasannya untuk mencari keberadaan orang-orang yang hilang di Silent Hill. Rose dan Cybill menjadi berteman baik saat mereka bersama melewati semua pengalaman dunia spiritual menyeramkan yang terjadi di kawasan Silent Hill. Sementara itu di Brahms, kota di seberang Silent Hill, suami Rose (Sean Bean) berusaha mencari istri dan anaknya dan kemudian dibingungkan oleh foto seorang anak perempuan misterius dari panti asuhan Katolik di Silent Hill bernama Alessa (diperankan juga oleh Jodelle Ferland), yang persis seperti anak perempuannya. Kemudian Rose dan Cybill juga bertemu dengan Dahlia Gillespie (Deborah Kara Unger), seorang perempuan berpenampilan seperti penyihir namun mereka  merasa ia memancarkan aura ketulusan seorang ibu yang menyayangi anak perempuannya. Dahlia mengaku ia juga mencari keberadaan anak perempuan yang amat disayanginya. Namun sayangnya pada setengah jalan untuk mengungkap misteri Silent Hill, Cybill yang berupaya menyelamatkan Rose, terbunuh oleh para penduduk Silent Hill yang menuduh mereka berdua penyihir. Cybill dibakar hidup-hidup seperti orang-orang lain yang dituduh sebagai penyihir oleh penduduk Silent Hill. Rahasia tentang misteri tragedi gelap mengerikan Silent Hill akhirnya berhasil diungkap Rose sendiri ternyata merupakan akibat dari kuatnya dendam seorang anak perempuan yang selama hidupnya di siksa oleh orang-orang religius fanatik di kota itu yang mengaku diri mereka suci dan penganut agama Kristen yang baik.  Rose mengetahui bahwa Silent Hill ternyata dulunya adalah kota tempat para orang-orang religius fanatik bermukim. Anak perempuan itu dituding sebagai penyihir oleh gereja dan seluruh penduduk di Silent Hill karena ia memiliki kemampuan psikokinesis alamiah. Selama masa kecilnya, anak ini sering dicemooh dan dihina serta dijuluki sebagai anak iblis yang terkutuk karena ia lahir dari seorang suster yang hamil diluar ikatan pernikahan tanpa ada yang mau bertanggung jawab sebagai ayahnya. Ibunya yang dulu adalah mantan seorang suster dengan kepahitan hati,  tidak sanggup membantu anaknya keluar dari penderitaan tersebut. Anak ini juga kerap mengalami pelecehan seksual berkali-kali oleh  petugas kebersihan asramanya, karena setiap ia menangis sakit hati maka tolilet adalah tempatnya bersembunyi. Anak perempuan yang dendam tersebut tidak lain adalah Alessa, anak perempuan yang persis seperti Sharon. Ia dibakar hidup-hidup atas ide dari Suster Christabella (Alice Krige), seorang biarawati pimpinan aliran religius fanatik yang tidak lain adalah adik dari  Dahlia, ibu Alessa. Alessa memiliki dendam yang teramat dalam dan gelap sehingga ia dapat membuat reaper (malaikat maut) untuk membalaskan seluruh dendam-dendamnya pada gereja dan penduduk di Silent Hill yang telah menghancurkan kehidupannya. Sehingga pada akhirnya, setelah Rose berhasil mengetahui kebenaran yang terselubung dibalik rahasia kegelapan Silent Hill, ia menemukan anaknya dan berhasil menyelamatkannya. 
        Saya menangkap pesan-pesan dari film ini ini, dimana banyak sekali karakter perempuan dalam film ini. Dimulai dari Rose, si tokoh utama yang awalnya terlihat naif namun dapat mengatasi segala rasa takutnya karena cintanya pada anaknya, Cybill yang tegas namun memiliki hati yang hangat dan rela berkorban demi solidaritas antar perempuan dan cintanya pada kehidupan, Sharon sebagai anak perempuan labil yang belum menemukan jati diri, Dahlia yang tertekan secara mental dan spiritual selama masa mudanya namun mendapatkan banyak pencerahan di masa tuanya melalui pengalamannya, dan Christabella yang merupakan perempuan yang memiliki harapan besar menjadi  satu-satunya objek paripurna yang eksklusif dari subjek paripurna dan kemudian terbuai dalam ilusi  eksklusifitas monolithisme dan monotheisme, sehingga ia dengan mudah mengkhianati dan menganggap enteng solidaritas sesama perempuan maupun sesama manusia. Kemunculan malaikat maut yang berwujud anak perempuan kecil, teriakan Cybill sebelum menghembuskan nafas terakhirnya: "May Mama always with me..."  dan kata-kata dalam yang sering diucapkan para tokoh utama, "Mothers is always like God for  their Chilren..." semakin membuat pesan-pesan moral dalam film ini yang benar-benar terlihat jelas sebagai  feminist-compatibility values. 
         Film ini merupakan salah satu film yang membuat saya berefleksi sangat dalam. Selain film The Exorcism of Emily Rose, saya belum pernah menemukan film seperti film Silent Hill ini yang benar-benar menggugah pemikiran  saya dalam filsafat feminisme. Walaupun sebenarnya sampai hari ini saya belum yakin benar tujuan utama penulis script dan sutradaranya, apakah mereka telah dapat memprediksi bahwa  para feminis akan bereaksi dengan film ini. Ataupun mereka berdua juga para pria yang pro terhadap filsafat  perempuan dan theologi feminis, belum dapat dipastikan. Saya kemudian mulai bertanya-tanya dalam hati saya seperti: 'apakah arti menjadi seorang ibu sejati?', 'apakah saya cukup woman enough untuk menjadi seorang ibu?', 'apakah saya telah cukup mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri saya sendiri, atau bahkan lebih dari mengasihi diri saya sendiri?', dan 'apakah dogma-dogma agama merupakan rival dari cinta ibu yang tanpa syarat, namun cukup kuat untuk membuat manusia menjadi terpengaruh di dalamnya untuk menindas manusia lain?'. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ada di benak saya  pada tahun 2006 lalu setelah selesai menyaksikan film ini. Syukurlah  akhirnya pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab melalui meditasi dan kontemplasi spiritual dan  pencarian saya terhadap makna hidup dan makna falsafah perempuan bagi saya.

                                

0 komentar:

Powered By Blogger

Jenny's Friend