Eksistensialisme dan Esensialisme Beauvoir serta Pertanyaan tentang ‘Sisterhood’ dalam Pluralitas Perempuan di Dunia
Oleh: Jenny Illona
Pencitraan perempuan di dalam budaya patriarkal telah di identifikasi oleh para feminis sebagai bentuk dari sebuah kekerasan yang bersifat epistemis, karena sistem pengetahuan merupakan salah satu bentuk dari sendi kunci kehidupan manusia yang telah dikonstruksi oleh laki-laki. Budaya patriarkal ini ditemukan hampir di setiap kawasan di dunia. Jumlahnya sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah kebudayaan yang bersifat bilineal dan matriarkal. Saya berargumen bahwa di kawasan Asia yang kaya akan diversitas kultural, kebudayaan yang matriarkal dan dan bilineal dapat lebih mudah ditemukan jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, terutama Eropa. Namun patut disayangkan kebudaayan seperti ini merupakan kebudayaan yang biasanya adalah kebudayaan subaltern.
Pemikir-pemikir feminis dari Eropa juga memiliki pandangan yang berbeda dengan para feminisme Asia dalam menteorisasikan tentang penyebab opresi pada perempuan dan bagaimana mengatasinya. Seperti Beauvoir, yang berasal dari Perancis dan bukan dari negara Dunia Ketiga atau etnis yang dimarjinakan dalam negaranya. Baik sudut pandang, maupun peristiwa yang terjadi dalam lingkungan riset teoris feminis mempengaruhi caranya menyusun asumsi dan menghasilkan teori.
Setelah membaca “The Second Sex”-nya Beauvoir, saya kemudian mencoba untuk merefleksikan tentang masalah ketidaksetaraan gender dan apa yang dikatakan kaum feminis tentang etik ‘sisterhood’ antar perempuan dalam negara-negara, ras, etnis dan kebudayaan dalam tataran global. Saya melihat bahwa persoalan eksistensialisme perempuan dalam hal ketidaksetaraan gender merupakan hal yang dapat dimaknai secara luas dan beragam. Karena dalam kenyataannya perempuan dari berbagai bangsa di dunia tidak diciptakan dan dikonstruksi secara sama satu dengan lainnya. Walaupun opresi terhadap peremuan adalah isu global. Dalam karya Beauvoir, saya masih melihat belum adanya kesadaran terhadap ‘diri’ (dalam hal ini maksud saya adalah ketika perempuan memandang dirinya) sebagai sesuatu yang terpecah dan beragam. Maksudnya adalah Beauvoir tidak komperhensif dalam filsafat eksistensialismenya tentang etik feminis dimana sebagian besar terkait dengan "perasaan senasib" terhadap perempuan di negara-negara lain. Contohnya yang paling terdekat, apakah Beauvoir ikut memikirkan tentang perempuan di Aljazair, dimana terdapat penderitaan para perempuan yang "khas" negara Dunia Ketiga akibat kolonialisme yang dilakukan negaranya yaitu Perancis? Saya rasa Beauvoir tidak memikirkan sampai sejauh itu. Dari pemikiran Beauvoir, saya menangkap adanya “esensialisme perempuan”, yaitu pandangan Beauvoir bahwa perempuan itu eksistensinya adalah sebagai bentuk platonik, yang seolah-olah oleh setiap perempuan, dengan darah dan daging, dapat sesuai dengan kategori tersebut. Karena itu problem esensialisme tersebut membuat Beauvoir dan filsafat eksistensialis-nya tersebut dapat dianggap telah gagal dalam menjelaskan opresi terhadap perempuan dalam tataran filosofis. Karena dalam kenyataannya, perempuan dikonstruksi dan diopresi dengan berbeda.
Dari semua pemikir feminis yang telah mengkritisi tulisan-tulisan feminisme eksistensialis Beauvoir yang telah saya banding-bandingkan, saya setuju dengan pemikiran Jean Bethke Elshtain yang mengkritisi pemikiran Beauvoir dalam tiga alasan: Pertama, The Second Sex tidak dapat diakses oleh jumlah mayoritas perempuan di dunia ini. Elshtain mengkritisi bahwa ide-ide Beauvoir seperti “imanensi”, “transendensi”, “esensi” dan “eksistensi” merupakan ide yang tidak muncul langsung dari pengalaman hidup perempuan, tetapi hanya abstraksi yang muncul dari spekulasi seorang filosof ketika duduk di kursi goyang. Pilihan kata Beauvoir itu akan menjadikan para perempuan yang tidak mendapat pendidikan formal tinggi untuk dengan ‘mentah-mentah’ menyetujui pemikirannya daripada meyakinkan mereka bahwa perempuan memang “warga kelas dua”. Kedua, pemikiran Beauvoir dianggap pesimistis tehadap tubuhnya, bukannya malah merayakan kekuatan perempuan dan femininitas sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi patriarki yang merendahkan femininitas. Pendapat-pendapat Beauvoir ini dinilai sebagai bentuk keterjebakannya dalam nilai-nilai patriarki yang tidak disadarinya. Ketiga, saran Beauvoir bagi pencapaian kebebasan dengan meminta perempuan untuk menghilangkan identitas ‘keperempuanannya’ dengan menolak melahirkan anak dan menolak sisterhood adalah tidak bertanggung jawab dan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang harus dipertaruhkan perempuan.
Dari semua pemikir feminis yang telah mengkritisi tulisan-tulisan feminisme eksistensialis Beauvoir yang telah saya banding-bandingkan, saya setuju dengan pemikiran Jean Bethke Elshtain yang mengkritisi pemikiran Beauvoir dalam tiga alasan: Pertama, The Second Sex tidak dapat diakses oleh jumlah mayoritas perempuan di dunia ini. Elshtain mengkritisi bahwa ide-ide Beauvoir seperti “imanensi”, “transendensi”, “esensi” dan “eksistensi” merupakan ide yang tidak muncul langsung dari pengalaman hidup perempuan, tetapi hanya abstraksi yang muncul dari spekulasi seorang filosof ketika duduk di kursi goyang. Pilihan kata Beauvoir itu akan menjadikan para perempuan yang tidak mendapat pendidikan formal tinggi untuk dengan ‘mentah-mentah’ menyetujui pemikirannya daripada meyakinkan mereka bahwa perempuan memang “warga kelas dua”. Kedua, pemikiran Beauvoir dianggap pesimistis tehadap tubuhnya, bukannya malah merayakan kekuatan perempuan dan femininitas sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi patriarki yang merendahkan femininitas. Pendapat-pendapat Beauvoir ini dinilai sebagai bentuk keterjebakannya dalam nilai-nilai patriarki yang tidak disadarinya. Ketiga, saran Beauvoir bagi pencapaian kebebasan dengan meminta perempuan untuk menghilangkan identitas ‘keperempuanannya’ dengan menolak melahirkan anak dan menolak sisterhood adalah tidak bertanggung jawab dan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang harus dipertaruhkan perempuan.
Dari sini saya dapat memahami betapa pandangan-pandangan para feminis Barat yang berjaya pada abad-19 dan 20 memang harus mengalami dekonstruksi dan refleksi terus menerus dalam menuju cita-cita kesetaraan gender dan pembebasan perempuan.
Terima kasih, SOPHIA The HOLY MOTHER of GOD atas enlightment yang Engkau beri!
0 komentar:
Posting Komentar