BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Feminist Artwork of The Month

Feminist Artwork of The Month

Selasa, 25 Januari 2011

Satu lagi Komik Feminis yang Menghebohkan!

Ada satu lagi komik feminis yang heboh di Amerika. Komik ini masih tergolong komik feminis baru dan memang komik ini masih kalah populer jika dibandingkan komik feminis legendaris seperti "It Ain't Me, Babe!" yang booming saat maraknya 2nd Wave Feminism di AS pada tahun 1970-an, tetapi komik ini cukup terkenal dan termasuk dapat menyediakan (tentu saja) kritik berbentuk humor dalam merepresentasikan isu-isu feminisme dan gender yang berupa politik pencitraan perempuan terkait kuatnya pengaruh dan perkembangan budaya pop di Amerika Serikat dari 1970-an sampai saat ini. Kreator komik berjudul "The Big Feminist, BUT"  ini terdiri dari tiga orang feminis dari Kanada dan Amerika, yaitu Shannon O'Leary, Joan Reilly dan Suzanne Kleid. Editornya adalah Shannon O'Leary sendiri. Adapun wawancara dengan O'Leary tentang komik ini dapat dilihat di: http://bitchmagazine.org/post/six-questions-on-comics-for-the-big-feminist-but
Dapat pula dilihat review-nya di: http://sparkplugcomicbooks.blogspot.com/2009_09_01_archive.html
Komik ini sepertinya tidak beredar bebas di internet dan tidak juga saya temukan di situs-situs seperti http://www.avaxhome.ws dan http://www.library.nu untuk di download bebas (sayangnya...hiks).
Ini sedikit sneak peek dari komik "The Big Feminist, BUT" ini yang saya dapatkan dari situs lain: 





Sekali lagi, LONG LIVE FEMINIST COMICS!

Simple but Brilliant Cartoon about Women's Writers...

Ini sengaja ku unduh dari blog seorang kawan feminist Amerika di http://beyondfeminism.wordpress.com/2008/05/09/feminist-writers
Kelihatannya lucu dan sepele, tapi sebenarnya memperlihatkan keadaan yang sebenarnya. Di dunia jurnalistik ataupun sastra, sangat menyenangkan bagiku jika melihat perkembangan penulis-penulis perempuan di dunia. Aku selalu memperhatikan cara berpikir mereka dan bagaimana kreatifitas mereka dalam menghasilkan karya-karya mereka
Oke, coba tebak siapa diantara dua 'origin' perempuan ini yang lebih sering mempublikasikan karyanya? Hahahahahaha :D

Dua Komik Feminis Paling Mantap! (selain Emily Strange tentunya...)

Komik feminis berjudul "It Ain't Me, Babe" ini dibuat sekitar tahun 1970-an oleh Terry Murray, seorang aktivis gelombang kedua feminisme dan pencinta komik-komik Marvel di Amerika Serikat. Komik ini kemudian di edit ulang oleh Trina Robbins dari Duke University. Komik ini kemudian di jadikan sebagai salah satu bagian dari pameran seni feminis yang di laksanakan di Duke University pada 22 Oktober 2007-31 Mei 2008yang berjudul
"Stretching the Canvas: Women Exploring the Arts and The Feminist Art Movement, 1970s-1980s".
Tentang acara ini dapat dilihat di:
http://library.duke.edu/exhibits/modelnormuse/galleries/feminist-art-movement/slides/It-Aint-Me.html
Sayangnya saya tidak mendapatkan soft copy dari komik ini beredar dengan bebas di internet.

Tapi saya temukan ada sedikit sneak peek isi komik ini:











Komik yg satu ini juga oke, tetapi bukan dibuat oleh para aktivis feminis, melainkan dibuat sendiri oleh tim Marvel Comics Inc. Marvel Comics Inc membuat komik Superman edisi ini pada tahun 1975-an, yang dibuat karena terinspirasi dari pergerakan kaum perempuan pada tahun 1970-1980an.
Lihat saja covernya:







LONG LIVE FEMINIST COMICS!

Essay Refleksi terhadap Pandangan Simone de Beauvoir: ‘The Second Sex' (Sekolah Kritik Ideologi Angkatan X; Pertemuan I)

Eksistensialisme dan Esensialisme Beauvoir serta Pertanyaan tentang ‘Sisterhood’ dalam Pluralitas Perempuan di Dunia
Oleh: Jenny Illona

Pencitraan perempuan di dalam budaya patriarkal telah di identifikasi oleh para feminis sebagai bentuk dari sebuah kekerasan yang bersifat epistemis, karena sistem pengetahuan merupakan salah satu bentuk dari sendi kunci kehidupan manusia yang telah dikonstruksi oleh laki-laki. Budaya patriarkal ini ditemukan hampir di setiap kawasan di dunia. Jumlahnya sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah kebudayaan yang bersifat bilineal dan matriarkal. Saya berargumen bahwa di kawasan Asia yang kaya akan diversitas kultural, kebudayaan yang matriarkal dan dan bilineal dapat lebih mudah ditemukan jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, terutama Eropa. Namun  patut disayangkan kebudaayan seperti ini merupakan kebudayaan yang biasanya adalah kebudayaan subaltern.
Pemikir-pemikir feminis dari Eropa juga memiliki pandangan yang berbeda dengan para feminisme Asia dalam menteorisasikan tentang penyebab opresi pada perempuan dan bagaimana mengatasinya. Seperti Beauvoir, yang berasal dari Perancis dan bukan dari negara Dunia Ketiga atau etnis yang dimarjinakan dalam negaranya. Baik sudut pandang, maupun peristiwa yang terjadi dalam lingkungan riset teoris feminis mempengaruhi caranya menyusun asumsi dan menghasilkan teori.
Setelah membaca “The Second Sex”-nya Beauvoir, saya kemudian mencoba untuk merefleksikan tentang masalah ketidaksetaraan gender dan apa yang dikatakan kaum feminis tentang etik ‘sisterhood’ antar perempuan dalam negara-negara, ras, etnis dan kebudayaan dalam tataran global. Saya melihat bahwa persoalan eksistensialisme perempuan dalam hal ketidaksetaraan gender merupakan hal yang dapat dimaknai secara luas dan beragam. Karena dalam kenyataannya perempuan dari berbagai bangsa di dunia tidak diciptakan dan dikonstruksi secara sama satu dengan lainnya. Walaupun opresi  terhadap peremuan adalah isu global. Dalam karya Beauvoir, saya masih melihat belum adanya kesadaran terhadap ‘diri’ (dalam hal ini  maksud saya adalah ketika perempuan memandang dirinya) sebagai sesuatu yang terpecah dan beragam. Maksudnya adalah Beauvoir tidak komperhensif dalam filsafat eksistensialismenya tentang etik feminis  dimana sebagian besar terkait dengan "perasaan senasib" terhadap perempuan di negara-negara lain. Contohnya yang paling terdekat, apakah Beauvoir ikut memikirkan tentang perempuan di Aljazair, dimana  terdapat penderitaan para perempuan yang "khas" negara Dunia Ketiga akibat kolonialisme yang dilakukan negaranya  yaitu Perancis? Saya rasa Beauvoir tidak memikirkan sampai sejauh itu. Dari pemikiran Beauvoir, saya menangkap adanya “esensialisme perempuan”, yaitu pandangan Beauvoir bahwa perempuan itu eksistensinya adalah sebagai bentuk platonik, yang seolah-olah oleh setiap perempuan, dengan darah dan daging, dapat sesuai dengan kategori  tersebut. Karena itu problem esensialisme tersebut membuat Beauvoir dan filsafat eksistensialis-nya tersebut dapat dianggap telah gagal dalam menjelaskan opresi terhadap perempuan dalam tataran filosofis. Karena dalam kenyataannya, perempuan dikonstruksi dan diopresi dengan berbeda. 
Dari semua pemikir feminis yang telah mengkritisi  tulisan-tulisan feminisme eksistensialis Beauvoir yang telah saya banding-bandingkan, saya setuju dengan pemikiran Jean Bethke Elshtain yang mengkritisi pemikiran Beauvoir dalam tiga alasan: Pertama, The Second Sex tidak dapat diakses oleh jumlah mayoritas perempuan di dunia ini. Elshtain mengkritisi bahwa ide-ide Beauvoir seperti “imanensi”, “transendensi”, “esensi” dan “eksistensi” merupakan ide yang tidak muncul langsung dari pengalaman hidup perempuan, tetapi hanya abstraksi yang muncul dari spekulasi seorang filosof ketika duduk di kursi goyang. Pilihan kata Beauvoir itu akan menjadikan para perempuan yang tidak mendapat pendidikan formal tinggi untuk dengan ‘mentah-mentah’ menyetujui pemikirannya daripada meyakinkan mereka bahwa perempuan memang “warga kelas dua”. Kedua, pemikiran Beauvoir dianggap pesimistis tehadap tubuhnya, bukannya malah merayakan kekuatan perempuan dan femininitas sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi patriarki yang merendahkan femininitas. Pendapat-pendapat Beauvoir ini dinilai sebagai bentuk keterjebakannya dalam nilai-nilai patriarki yang tidak disadarinya. Ketiga, saran Beauvoir bagi pencapaian kebebasan dengan meminta perempuan untuk menghilangkan identitas ‘keperempuanannya’ dengan menolak melahirkan anak dan menolak sisterhood adalah tidak bertanggung jawab dan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang harus dipertaruhkan perempuan.
Dari sini saya dapat memahami betapa pandangan-pandangan para feminis Barat yang berjaya pada abad-19 dan 20 memang harus mengalami dekonstruksi dan refleksi terus menerus dalam menuju cita-cita kesetaraan gender dan pembebasan perempuan.            
 Terima kasih, SOPHIA The HOLY MOTHER of GOD atas enlightment yang Engkau beri!

Senin, 24 Januari 2011

Welcome! Blog yang sudah lama tidak dipakai ini kembali hidup lagi...

Oke, sepertinya siapapun juga telah dapat menebak bahwa aku adalah seorang feminis muda. Biar kuberitahu sedikit tentang falsafah hidupku dan kepercayaan teologisku sebagai seorang perempuan  (hal ini seperti samacam Pengakuan Iman atau Credo bagiku):
Aku percaya bahwa Tuhan itu seperti seorang ibu. Tentu saja hatinya seperti ineh-ku (dari bahasa Dayak Ma'anyan, panggilan untuk ibu) yang tercinta di Kalimantan. Tuhan bagiku adalah pribadi terbesar yang tidak pernah menuntut dan selalu menyayangi. Memberi makan semua makhluk di bumi dengan air susu-Nya yang sempurna. Melindungi rantai kehidupan dengan tangan-tangan lembut-Nya.
Begitulah sifat-sifat Tuhan yang kupercayai, jadi aku percaya pada sesuatu yang metafisik dan cinta yang diluar akal sehat manusia. Karena cinta Tuhan itu tulus seperti cinta ibu kepada anak-anaknya. Aku percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang baik, dan sesuatu yang baik itu berasal dari Tuhan.
Kepercayaanku itu juga telah berimplikasi terhadap pendapatku tentang sistem penghidupan manusia di bumi pertiwi. Aku mempercayai bahwa perempuan dengan kemampuan reproduksi, atau melahirkan, selama beribu-ribu tahun sebelum terbentuknya patriarki, telah berhasil menguasai dan mengendalikan peradaban (terlihat kan, bahwa aku tidak mempercayai saga Genesis dalam Bible).
Karena seperti yang kita ketahui bahwa kehidupan prasejarah manusia adalah kehidupan berkelompok, masyarakat komunis primitif (Karl Marx), bukan kehidupan yang individualistis.
Apa yang di 'agung-agungkan' oleh Marxisme dan Komunisme sebagai komunitas pada dasarnya (refleksikanlah!) dibangun dengan mengandalkan kemampuan reproduktif perempuan. Sehingga jika ada seorang anak yang lahir, maka ia bisa diakui dan dipelihara oleh beberapa orang “bapak” sekaligus. Nah, menurut apa yang kuketahui dan kupercayai, begitulah sistem kehidupan manusia pada masa awal-awal bumi terbentuk.
Perempuan dalam kehidupan komunal menjadi jantung kehidupan dan pusat nilai masyarakat. Berasal dari rahim perempuanlah anggapan tentang baik dan buruk terlahir dan menumbuh kembangkan landasan etik Matriarki. Dimana sosok ibu adalah pusat dari segala macam bentuk kehidupan. Jadi, tata hidup kelompok bertahan dengan nilai-nilai perempuan. Tak pernah ada konsep pemilikan individu dalam masa-masa ini. Bahasa kelompok sepenuhnya menginternalisasi bahasa perempuan, bahasa ibu, karena seluruh sistem komunal ditopang oleh tingkat survivalitas spesies yang tinggi.
Dengan kata lain, keberhasilan sebuah kelompok mempertahankan hidup sepenuhnya tergantung pada situasi hidup perempuan. Jika kondisi perempuan terganggu, maka pastilah seluruh sendi-sendi kehidupan komunal pun akan runtuh.
Namun seiring berjalannya waktu dan semakin tuanya bumi ini, peradaban individualistis terus berkembang, budaya berburu dan meramu mulai ditinggalkan, manusia beralih ke budaya agraria: bercocok tanam, dan muncul apa yang kita kenal dengan privatisasi. Nampaknya, awal peradaban pertanian menjadi akhir dari kehidupan komunal. Masyarakat mulai mengenali konsep-konsep kerja berbasis pemilikan pribadi dan sistem akumulasi modal primitif. Konsep pemilikan semakin terlembaga ketika masyarakat kuno mulai melakukan perluasan lahan garap yang kemudian menjadi sumber gagasan tentang peperangan, penaklukan, dan penjajahan. Inilah yang dinamakan fase pembentukkan patriarki sebagai budaya. Jadi, patriarki sendiri bagiku adalah kebudayaan yang berasal dari sisi negatif manusia yaitu nafsu, keserakahan dan agresifitas.

Fiuhhh.. Lega rasanya telah menyampaikan isi pemikiranku pada kalian yang membaca.
Karena berfilsafat dan perasaan ingin tahu itu tidak boleh dikekang. Bisa berbahaya bagi manusia. Karena mengekang hal tersebut sama seperti menyumbat hidung kita pada saat bernafas. Jadi, sama saja dengan membunuh kita secara perlahan.
Yakinlah, bahwa dalam proses belajar dalam hidup ini, kita tidak hanya harus memiliki kecerdasan kognitif saja. Tetapi ada kecerdasan-kecerdasan lain yang dibutuhkan, termasuk kecerdasan dalam merefleksikan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini tanpa keberpihakan yang subjektif.
Itulah yang disebut HIKMAT. Hikmat ini lebih tinggi daripada pengetahuan. Karena pengetahuan dapat menjadi sangat destruktif jika ada ditangan orang tidak berhikmat.
Hikmat dapat ditemukan dimana-mana, tergantung kepekaan manusia. Ia dapat mencul dari hal-hal yang sangat sederhana sampai pada hal-hal paling rumit dan sulit dijelaskan.
Jadi, selamat berpertualang dalam menemukan hikmat!

Powered By Blogger

Jenny's Friend